Minggu, 25 September 2011

Contoh Hatah Intern (Perkawinan Campuran terkait Kaidah HATAH INTERN)

Diposting oleh Irawati Meiningrum di 05.36 1 komentar
KASUS POSISI

NY. SURTIATI Wu Warga Negara Indonesia melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN yang telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta. Perkawinan tersebut telah dikaruniai dua orang anak yang lahir di Jakarta dan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang bernama Alice dan Denise. Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Ketidakharmonisan tersebut akhirnya berbuntut pada gugatan cerai yang diajukan Dr. Charlie Wu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar hak asuh atas kedua anaknya diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut yang kemudian ditegaskan lewat keputusan banding. Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.

ANALISA

Mengingat tahun kelahiran kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987, maka peraturan yang mengatur adalah undang-undang No. 62 tahun 1968. Dalam Pasal 1b tersebut menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum menikah di bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut secara ketat asas “ius sanguinis”. Oleh sebab itu, seperti dalam kasus ini dimana terjadi perkawinan campuran antara perempuan WNI (Ny Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie Wu), maka anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan si ayah dimanapun ia dilahirkan. Mengenai ketentuan ini terdapat pengecualian yakni apabila negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi si anak yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus “stateless” atau tanpa kewarganegaraan.
Dalam kasus ini, Dr. Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang menganut asas kewarganegaraan “ius soli”, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahirannya. Kedua anak yang merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta. Dengan demikian, terjadi pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang berbeda.
Berdasarkan pasal 1 b UU No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ayah mereka, yakni Amerika. Namun, berdasarkan asas “ius soli” yang dianut oleh Amerika Serikat, kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka, yaitu Indonesia. Hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi “stateless”. Akan tetapi, UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride” dimana terjadi seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. Oleh sebab itu, dalam kasus seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI jika sang ibu mengajukan permohonan ke pengadilan.
Dalam kasus ini, kedua anak tersebut menjadi warga negara Amerika. Hal ini dimungkinkan dengan pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua anak tersebut adalah kedua anaknya sehingga harus mengikuti kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 17 UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang diakui oleh orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu mengajukan permohonan paspor kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya paspor Amerika atas nama Alice dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17 tersebut berlaku. Kedua anak itu mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu yang seorang WNA sebagai anaknya.

Sedangkan mengenai putusan perceraian itu sendiri, mengingat uraian-uraian mengenai sikap dan tingkah laku dari Ny. Surtiati Wu yang buruk, seperti kasar, keras kepala, mau menang sendiri, dan suka berbohong yang akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan dan percekcokan di dalam rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari dilangsungkannya lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang perkawinan, yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang wajar apabila Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh Dr. Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu putus karena perceraian.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak dari Penggugat dan Tergugat bahwa mereka setuju apabila kedua orangtua mereka bercerai karena jika perkawinan tersebut dilanjutkan, hanya akan menambah penderitaan batin mereka saja dan lagi mereka tidak keberatan apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat (Dr. Charlie Wu).
Apabila menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum dari Penggugat bahwa :
1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi.
Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
Jika dianalisis terhadap perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, maka pada bagian latar belakang permasalahan bentuk perkawinan ini terdapat kontradiksi yang kuat antara doktrin ketertiban umum dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr Charlie Wu menikah dengan Ny. Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk perkawinan yang sama sekali sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah memperoleh hak-hak di Negara Amerika Serikat sehingga dalam penerapannya di Indonesia maka permasalahan ini tidak serta merta dinyatakan tidak sah oleh Indonesia berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan UU Kewarganegaraan.
Hak-hak yang diperoleh biasanya dipakai untuk mengedapankan bahwa perubahan dari fakta-fakta, tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah yang semula dipakai. Penerapan prinsip ini menurut pemikiran Dicey yang menentukan bahwa, “ Any Right which has been duly recognized, and in general, enforced by English court, and no right which has not been duly acquired in enforced or in general, recoqnized by English courts”. Hak yang telah diperoleh menurut ketentuan hukum Negara asing, diakui dan sepenuhnya dilaksanakan oleh hakim, sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan konsepsi public policy.
Namun dalam praktek dan jika dihubungkan dengan kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa “hak-hak yang diperoleh” pada perkawinan camouyr yang mendapat legitimasi di Amerika Serikaty tersebut setidak-tidaknya tidak dijadikan dasar dari seluruh bangunan bagi sang Hakim dalam melaksanakan tugasnya memilih hukum yang harus dipergunakan, sebagai pengecualian atas apa yang menurut ketentuan-ketentuan HPI lex fori seyognya harus diperlakukan.
Kemudian dalam hal pengakuan anak tersebut sebenarnya hakim dalam mempertimbagkan analisa yuridis tidak menggunakan HATAH atau Hukum Antar Tata Hukum secara maksimal. Hal ini membuktikan bahwa hakm Indonesia terlebih-lebih mengenai kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu yang terkait dengan masalah hatah tidak mengenal dengan baik mengenai konstruksi berfikir hatah dengan tidak memasukan salah satupun pertimbangan dalam putusannya. Inilah sikap dari para hakim yang entah chauvimis ataukah keterbelakangan ilmu sehingga tanpa adirnya Keterangan Ahli dalam persidangan yang mengungkapakan dalil-dalil HATAH kemudian akan dikesampingkan.
Perpindahan Dr. Charlie Wu yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, sebenarnya suatu permasalahan tersendiri, karena disini ada titik pertalian yang harus dicermati, karena Hakim pasti akan memilih akankah akan menggunakan setelsel hukum Amerika Serikat sesuai dengan kewarganegaraan Chalie Wu ataukah menggunakan Stelsel Hukum Indonesia sesuai dengan kewarganegaraan dari Istrinya, Ny. Surtiati Wu, serta sesuai dengan letak diajukannya gugatan perdata yang dilakukan oleh Dr. Charlie Wu yakni di Pengadilan Negri Jakarta Selatan. Hal inilah yang perlu juga kita tinjau dan seharusnya Hakim sebagai pihak pencari keadilan mempertimbangkan hal ini.
Van Vollenhoven mengunkapkan salah satu pertimbangan untuk mempergunakan hukum nasional dalam menentukan stelsel hukum yang berlaku apabila terjadi titik pertalian adalah dengan melihat adanya :
• Percampuran dengan sukubangsa Asli (vermenging met de autochtone bevolking)
• Persatuan dengan masyarakat hukum setempat (deelgennotschap van locale rechtgemeenschap)
Sedangkan perbedaan antara kedua syarat ini ialah bahwa “pencampuran dengan suku bangsa asli” berlangsung dalam lingkungan daerah yang lebih luas atau isebut region atau regional. Sedangkan “persatuan dengan masyarakat setempat” maka semula ini memperlihatkan suatu proses “pengolahan” yang tidak sedemikian mendalam., kemudian mengenai daerah yang lebih kecil namun sebaliknya dirasakanlebih dalam. Jika kembali dalam kasus maka akan terasa janggal bahwa Dr. Charlie Wu berserta anak Dr. Charlie Wu yang hanya melakukan pencampuran yang tidak sedalam persatuan namun hendak memakai stelsel hukum Indonesia.

Jumat, 23 September 2011

Bagaimana dengan hak beragama sebagai non-derogable rights, sebagai hak yang tak dapat dibatasi dalam keadaan apapun?

Diposting oleh Irawati Meiningrum di 01.04 0 komentar

Bagaimana dengan hak beragama sebagai non-derogable rights, sebagai hak yang tak dapat dibatasi dalam keadaan apapun?
Jawab:
Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian dirumuskan dalam Perubahan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Sebelum non-derogable rights dirumuskan dalam UUD 1945, sudah ditegaskan pula di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 7 yang menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non–derogable)”.
Selanjutnya Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM juga menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Pengklasifikasian non-derogable rights dan derogable rights adalah sesuai Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Ifdhal Kasim dalam tulisannya “Konvensi Hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar”, yang diterbitkan ELSAM, hak-hak non-derogable yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Miriam Budiarjo dalam “Perlukah Non-Derogable Rights Masuk Undang-Undang Dasar 1945”, (Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000 No.4, hlm. 413-416) mengatakan dengan dimasukkannya non-derogable rights dalam UUD, maka kita telah mengikat tangan sendiri. Misalkan saja, fakir miskin dan anak terlantar dalam UUD dinyatakan sebagai hak non- derogable, maka kita akan dituduh negara pelanggar HAM jika tidak memenuhinya karena berhubung dengan keterbatasan dana.
Sesuai dengan Pasal 28 I, ICCPR menyatakan hak-hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi karena sangat mendasar yaitu:
(i)                 hak atas hidup (rights to life);
(ii)               hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture);
(iii)             hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery);
(iv)             hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang);
(v)               hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut;
(vi)             hak sebagai subjek hukum; dan
(vii)           hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Sedangkan intinya, sesuai dengan ICCPR, the European Convention on Human Rights dan the American Convention on Human Rights terdapat empat hak non-derogable umum. Atau beberapa pendapat menyebut The core of rights (hak inti) dari non derogable rights berjumlah empat. Ini adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman lainnya, hak untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan dan hak untuk bebas dari penerapan retroaktif hukum pidana. Hak-hak ini juga dikenal sebagai norma hukum internasional yg harus ditaati atau jus cogens norms. (www.un.org/esa/socdev/enable/comp210.htm, diunduh pada 22/9/2010).
Hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah:
(i)                 hak atas kebebasan berkumpul secara damai;
(ii)               hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan
(iii)             hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tilisan).
Sebagaimana ditulis Ifdhal Kasim atau pendapat Prof. Laica Marzuki, negara-negara pihak boleh mengurangi atau menyimpangi kewajiban memenuhi hak-hak jenis non-derogable. Sedangkan non-derogable tidak diperkenankan. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan jika sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi: (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof. Rosalyn Higgins menyebut sebagai ketentuan “clawback’, yang memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain itu diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua negara pihak ICCPR.
Apakah non-derogable rights dapat dikurangi oleh negara? Pada umumnya aktivis HAM berpendapat tidak dapat disimpangi dengan alasan apapun dan darurat sekalipun Beberapa pendapat sebaliknya hak-hak apapun bisa dibatasi oleh UU. Ada beberapa pendapat pula mengatakan dirumuskan saja dalam bentuk UU sebagaimana Konvenan tersebut. Jika diatur dalam UU, maka pembatasan atas hak-hak non-derogable tersebut dapat dilakukan, karena jika dirumuskan dalam konstitusi, maka negara telah melanggar konstitusi.
Mahkamah Kontitusi (MK) pernah menguji terkait asas retroaktif yang termasuk hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun yang menyatakan Pasal 28I ayat (1) harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2). Maka akan tampak secara sistematik, HAM– termasuk hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut — tidaklah bersifat mutlak, karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2). MK juga berpendapat pengesampingan asas non-retroaktif dapat dibenarkan, bukanlah maksud pengesampingan setiap saat dapat dilakukan tanpa pembatasan. UUD 1945 sendiri, Pasal 28J ayat (2), sebagaimana telah diuraikan di atas, telah menegaskan pembatasan dimaksud. (Vide Putusan No. 065/PUU-II/2004 perihal Pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Selanjutnya perkara No. 29/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, MK mengetengahkan klasifikasi HAM tersebut. Ditegaskan pula HAM yang dikategorikan sebagai non-derogable rights pun, misalnya hak non retroaktif dapat dikesampingkan untuk pelanggaran HAM berat (gross violence of human rights) seperti kejahatan kemanusiaan dan genosida. Juga dalam HAM mengenai hak untuk hidup seperti yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) dapat dibatasi oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Kemudian pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, perkara No.2-3/PUU-V/2007, MK berpendapat sejarah penyusunan dari Pasal 28I UUD 1945 berdasarkan saksi dan ahli, dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa HAM dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut.
Secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie) menurut pertimbangan MK, HAM yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan HAM dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan HAM sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.("Dalam pelaksanaan hak dan kebebasan, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi persyaratan moralitas, masyarakat ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis).

Selasa, 20 September 2011

Tugas Hukum dan HAM

Diposting oleh Irawati Meiningrum di 04.08 0 komentar
Sehubungan keikutsertaan pengajar dalam Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia di Surabaya 20-21 September 2011, Perkuliahan Hukum HAM Kelas A, B, C, dan D  sejak SENIN 19 September 2011 hingga Kamis 22 September 2011  DITIADAKAN.
Sebagai gantinya mahasiswa agar :
1.       Mempelajari secara mandiri Protokol Tambahan I ICCPR mengenai Pengaduan Individu. Protokol Tambahan Ini dapat didownload di situs kuliahmanunggal.wordpress.com. Untuk menambah pemahaman mahasiswa agar membaca/mempelajari mengenai ICCPR. Agar dalam perkuliahan Protokol Tambahan ini dibawa untuk mempermudah pemahaman.
2.       Mengerjakan tugas mandiri  berupa position paper. Adapun tema untuk tiap-tiap kelas telah ditentukan sbb:
MAHASISWA KELAS
TEMA YANG DITENTUKAN& PERTANYAAN YANG DAPAT DIKEMBANGKAN DALAM PAPER
A
Haruskah perkawinan sesama jenis menjadi sesuatu yang legal? Dapatkah negara membatasi orientasi seksual warganya? Apakah tidak diakuinya perkawinan sesama jenis di banyak negara mempunyai dasar pembenar menurut hukum HAM? Bagaimana dengan hak asasi manusia untuk menikah? Dll dsb.
B
Apakah menurut Hukum HAM Negara dapat dibenarkan untuk mewajibkan warganya untuk beragama? Bagaimana dengan hak beragama sebagai non-derogable rights, sebagai hak yang tak dapat dibatasi dalam keadaan apapun? Apakah orang yang memilih untuk tidak beragama/atheis dapat dikriminalisasikan? Dll dsb.
C
Apakah Aliran Agama Yang Dianggap Menyimpang oleh masyarakat umum dapat dibenarkan untuk Dilarang?Apakah Negara Memiliki Kewenangan Untuk Menentukan Agama Yang Benar dan Agama Yang Menyimpang?
D
Apakah Hukum Yang menetapkan syarat bagi dilakukannya poligami adalah pelanggaran hak asasi manusia? Haruskah poligami dilarang? Dll dst.

  1. Position paper berisi  posisi/sikap mahasiswa atas suatu isu hukum tertentu yang telah ditentukan di atas. Tema dan Pertanyaan sebagaimana ditentukan di atas dapat dikembangkan lagi oleh mahasiswa  dengan berbagai pertanyaan lain. 
  2. Mahasiswa BEBAS untuk mengambil posisi PRO maupun KONTRA atas suatu kasus, tanpa harus merasa sungkan, segan, ataupun malu jika posisi yang diambil bertentangan ataupun dirasa berlawanan dengan anggapan umum selama ini. 
  3. Paper harus menunjukkan posisi mahasiswa atas suatu isu hukum yang telah ditentukan di atas, apakah mensetujui atau menolak, maupun mensetujui dan menolak dengan catatan khusus. Yang pasti, posisi yang diambil oleh mahasiswa harus disertai dengan argumentasi hukum hak asasi manusia. Alasan yang dikemukakan hendaknya alasan yang bersifat alasan hukum, dan bukan mengajukan alasan-alasan lain di luar ilmu hukum.
  4. Mahasiswa agar merujuk ketentuan-ketentuan dalam Deklarasi Universal HAM, Perjanjian Internasional Hak Sipil dan Politik, UUD 1945 terutama BAB  mengenai HAM, dll. Disarankan agar mahasiswa membaca berbagai ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia dan General Comment atas ICCPR sebelum mengerjakan paper tersebut. Untuk diperhatikan bahwa di kesemua tema yang ditentukan terdapat isu-isu sentral hak asasi manusia terutama mengenai pembatasan hak asasi manusia. Kesemua Instrumen HAM di atas dapat didownload di situs pengajar. 
  5. Format paper adalah : Pendahuluan, Permasalahan, Pembahasan, Kesimpulan, Penutup. Diketik 1,5 Spasi dengan huruf Times New Roman dan besaran font 12. Paper  TIDAK PERLU disampul plastik, cukup distaple saja. Save The Environment  from plastic waste!
  6.  Setiap Position Paper yang dibuat diberi Nama, NIM mahasiswa yang mengerjakan. Tugas agar dikerjakan berkelompok 2 orang dan Maksimal 3 orang. Tugas dapat dikerjakan perorangan, akan tetapi nilai tugas yang dikerjakan perorangan akan lebih rendah daripada tugas yang dikerjakan secara berkelompok. Nama Mahasiswa yang mengerjakan tugas adalah nama mahasiswa yang tercetak dalam lembar cover. Nama yang ditulis tangan tidak dianggap mengerjakan tugas. 
  7. Tugas akan dipresentasian pada Minggu Pertama Bulan Oktober.  Pada minggu tersebut, mahasiswa agar mengumpulkan tugas kepada pengajar dalam perkuliahan dan akan diadakan PRESENTASI. Mahasiswa agar memeprsiapkan diri sebaik-baiknya untuk presentasi.
  8.  Diperingatkan pada mahasiswa agar tidak melakukan plagiarism dalam bentuk apapun. Mahasiswa yang melakukan copy paste dari internet, dari sesama mahasiswa dengan alasan apapun tidak akan mendapatkan nilai/kosong.






Pernyataan

Kami yang membuat tugas dengan judul .......................................
Menyatakan bahwa tugas yang  Saya/Kami Kerjaan ini benar-benar hasil pekerjaan kami, dan bukan hasil plagiarisme. Jika terbukti bahwa tugas ini adalah hasil menjiplak karya orang lain maka kami bersedia diberi sanksi akademik seberat-

Minggu, 21 Agustus 2011

Hello Bekasi

Diposting oleh Irawati Meiningrum di 06.09 0 komentar
Akhirnya gue bisa berlibur ke bekasi jugaaa.

Selasa, 05 Juli 2011

Semester Pendek

Diposting oleh Irawati Meiningrum di 02.49 0 komentar
Hmm, Awalnyaa sii gue maless banget ikut Semester Pendek ato orang-orang bilangnya SP. Tapi berhubung ada beberapa mata kuliah gue yg anjlok, guee pikir-pikir lagi deh rasaa malessnya. Katanyaa sii yee ini SP terakhir, abis itu udah engga ada SP lagi "denger-denger dr orang". Gue kasih tau deh mata kuliah apa aja yg menurut gue sangaaattt anjlokk.
  1. Ilmu Negara
  2. Pengantar Hukum Indonesia
  3. Kewarganegaraan
  4. Bahasa Indonesia
Padahal menurut orang-orang itu, mata kuliah itu dasaar hukum. Tapi karna gue dulu semester awal males buat kuliah, jd ancurr tuh 4 mata kuliah itu.

Ikut SP itu enak engga enak. Enaknyaa gue bisa memperbaikin nilaii yang misal nilaiinya D yaa bisa lah dpt B. Engga enaknya,, adduuhh libuur 2bulan engga samaa keluargaa. Dan puasa di hari pertama juga engga samaa keluargaa.
Tapi semoga ajaa dengan gue ikut SP ini, nilai gue akan lebih baik ke depannya. Amin 

Selasa, 28 Juni 2011

♥My Friends♥

Diposting oleh Irawati Meiningrum di 05.04 0 komentar
They My Best Friend


I know them from sitting in class 11 science 4. At first I think that they were not fun, it turns out after a few weeks I met and memorize the characters each of them was their own fun and not overbearing as I thought, I'll introduce them one by one.

The one on the right of the Septi Eka Hardyana. Seing the kids call him as "Sepek". She was pretty, smart, a bit grumpy so. Many children like the other guys with him, despite fierce Septi guys know it was good.

Both of the right "Dewi Asih Ariwiningsih".
Dewi's children are smart, not arrogant, fat. children usually call him as "dedew". He also turned his preoccupation is not easily offended, although there is talk of us often that we think that he would be offended. Apparently dedew not offended at all.


Third from theRight was "Karina Drian Citra Pertiwi".

Children often call him "karin"  He was invited to talk for her fun, often silly joke, although a bit crisp, delicious in whom joking.
He said that in short is not in saying so high that not even mediocre.

And Thennn......

On the left is
The one on the left that I "Dini Anggraini S". Children often call me "Dini". Sorry not that I'm arrogant, I do not want to judge myself I'm alone. People who can assess themselves to me.

Second from the left.
Second from the left was "Winona Maulida Utami". The kids call him the "Wina". Winona's cute black child, and he loved the Warana smelling purple. He's not arrogant son also and he also sits a bench with me. Anyway what it's him, not adventurous and not dirty



Third from the left.
Third from the left was "Sri Nur Arina Zulfah", the children often call her "Arina", but if the rest of us call him the "lenonk".

He is also his son is not cocky, and what it was. Good in the chat as well.
 
Anyway from all of them children own fun and willing to compromise on the invite if there is nothing. I'm sorry if there is written the wrong name.

Spending Time with My Sista ♥

Diposting oleh Irawati Meiningrum di 03.24 0 komentar
Monday, 27 June 2011.
 
I was with my sister Irawati Meiningrum spend time together, we went to Mega Bekasi XXI. There we watched "What's With Pocong? And Tarix Jabrix 3". Actually I was not satisfied to go with my sister yesterday. But would not want to be satisfied. Since I left home around 10:00 Hours and hours of 19:00 pm we returned to the house. And consequently it's very tiring, but thank God I was happy to be walking together rich yesterday.

Hopefully if there is time left me and my sister can have fun both rich yesterday.
I hope tomorrow's future is not alone, but the family can have fun like yesterday I was with my sister. amen

Sabtu, 25 Juni 2011

LAST Train Business

Diposting oleh Irawati Meiningrum di 03.19 0 komentar
Oath yes, because running out EXECUTIVE train ticket, it can be the ticket who BUSINESS.

Not think the oath so hot in it. It's all wet clothes. Yes no oath was again back to jakarta train BUSINESS. Enough now last wrote.

I think the back would be the ticket EXECUTIVE. And again I can train ticket a BUSINESS. Oh my gosh, I swear it just different because of Rp 10,000 to not be able to train non BUSINESS.

Oh no, tomorrow, tomorrow is again just because of difference of Rp 10,000 to kaya gini.

And I swear I'm in marahin mother. Hmm, not very good at it.
 

Irawati Meiningrum Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review