Bagaimana dengan hak beragama sebagai non-derogable rights,
sebagai hak yang tak dapat dibatasi dalam keadaan apapun?
Jawab:
Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian dirumuskan
dalam Perubahan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun”. Sebelum non-derogable rights dirumuskan dalam UUD
1945, sudah ditegaskan pula di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia, Pasal 7 yang menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non–derogable)”.
Selanjutnya Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999
tentang HAM juga menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun”.
Pengklasifikasian non-derogable
rights dan derogable rights adalah sesuai Konvenan internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political
Rights (ICCPR). Ifdhal Kasim dalam tulisannya “Konvensi Hak Sipil dan
Politik, Sebuah Pengantar”, yang diterbitkan ELSAM, hak-hak non-derogable yaitu
hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh
negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Miriam Budiarjo
dalam “Perlukah Non-Derogable Rights Masuk Undang-Undang Dasar 1945”, (Jurnal Analisis
CSIS, Tahun XXIX/2000 No.4, hlm. 413-416) mengatakan dengan dimasukkannya non-derogable
rights dalam UUD, maka kita telah mengikat tangan sendiri. Misalkan saja,
fakir miskin dan anak terlantar dalam UUD dinyatakan sebagai hak non-
derogable, maka kita akan dituduh negara pelanggar HAM jika tidak
memenuhinya karena berhubung dengan keterbatasan dana.
Sesuai dengan Pasal
28 I, ICCPR menyatakan hak-hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi
karena sangat mendasar yaitu:
(i)
hak atas hidup (rights
to life);
(ii)
hak bebas dari penyiksaan (rights
to be free from torture);
(iii)
hak bebas dari perbudakan (rights
to be free from slavery);
(iv)
hak bebas dari penahanan
karena gagal memenuhi perjanjian (utang);
(v)
hak bebas dari pemidanaan
yang berlaku surut;
(vi)
hak sebagai subjek hukum; dan
(vii)
hak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan agama. Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang
telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of
human rights).
Sedangkan intinya, sesuai dengan
ICCPR, the European Convention on Human Rights dan the American
Convention on Human Rights terdapat empat hak non-derogable umum.
Atau beberapa pendapat menyebut The core of rights (hak inti) dari non
derogable rights berjumlah empat. Ini adalah hak untuk hidup, hak untuk
bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan atau
hukuman lainnya, hak untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan dan hak untuk
bebas dari penerapan retroaktif hukum pidana. Hak-hak ini juga dikenal sebagai
norma hukum internasional yg harus ditaati atau jus cogens norms.
(www.un.org/esa/socdev/enable/comp210.htm, diunduh pada 22/9/2010).
Hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang
boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan kebebasan
yang termasuk dalam jenis ini adalah:
(i)
hak atas kebebasan
berkumpul secara damai;
(ii)
hak atas kebebasan
berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan
(iii)
hak atas kebebasan menyatakan
pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan
informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui
lisan atau tilisan).
Sebagaimana ditulis Ifdhal Kasim
atau pendapat Prof. Laica Marzuki, negara-negara pihak boleh mengurangi atau
menyimpangi kewajiban memenuhi hak-hak jenis non-derogable. Sedangkan non-derogable
tidak diperkenankan. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan jika
sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu
demi: (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau
moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof.
Rosalyn Higgins menyebut sebagai ketentuan “clawback’, yang
memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk
menghindari hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh
dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain itu
diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut
dilakukan kepada semua negara pihak ICCPR.
Apakah non-derogable rights dapat
dikurangi oleh negara? Pada umumnya aktivis HAM berpendapat tidak dapat
disimpangi dengan alasan apapun dan darurat sekalipun Beberapa pendapat
sebaliknya hak-hak apapun bisa dibatasi oleh UU. Ada beberapa pendapat pula mengatakan
dirumuskan saja dalam bentuk UU sebagaimana Konvenan tersebut. Jika diatur
dalam UU, maka pembatasan atas hak-hak non-derogable tersebut dapat
dilakukan, karena jika dirumuskan dalam konstitusi, maka negara telah melanggar
konstitusi.
Mahkamah Kontitusi (MK) pernah
menguji terkait asas retroaktif yang termasuk hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun yang menyatakan Pasal 28I ayat (1) harus dibaca
bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2). Maka akan tampak secara sistematik,
HAM– termasuk hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut —
tidaklah bersifat mutlak, karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib menghormati HAM orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang
ditentukan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal
28J ayat (2). MK juga berpendapat pengesampingan asas non-retroaktif dapat
dibenarkan, bukanlah maksud pengesampingan setiap saat dapat dilakukan tanpa
pembatasan. UUD 1945 sendiri, Pasal 28J ayat (2), sebagaimana telah diuraikan
di atas, telah menegaskan pembatasan dimaksud. (Vide Putusan No.
065/PUU-II/2004 perihal Pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Selanjutnya perkara No.
29/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, MK
mengetengahkan klasifikasi HAM tersebut. Ditegaskan pula HAM yang dikategorikan
sebagai non-derogable rights pun, misalnya hak non retroaktif dapat
dikesampingkan untuk pelanggaran HAM berat (gross violence of human rights)
seperti kejahatan kemanusiaan dan genosida. Juga dalam HAM mengenai hak untuk
hidup seperti yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) dapat dibatasi oleh Pasal
28J ayat (2) UUD 1945.
Kemudian pengujian UU No. 22
Tahun 1997 tentang Narkotika, perkara No.2-3/PUU-V/2007, MK berpendapat sejarah
penyusunan dari Pasal 28I UUD 1945 berdasarkan saksi dan ahli, dari perspektif original
intent pembentuk UUD 1945, seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945
keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang
menyatakan bahwa HAM dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J
sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi
manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut.
Secara
penafsiran sistematis (sistematische interpretatie) menurut pertimbangan
MK, HAM yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk
pada pembatasan yang diatur Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan HAM
dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal
Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan
HAM sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and
freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined
by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the
rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality,
public order and the general welfare in a democratic society.” ("Dalam
pelaksanaan hak dan kebebasan, setiap orang harus tunduk
hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi persyaratan moralitas, masyarakat ketertiban dan kesejahteraan
umum dalam suatu masyarakat demokratis).




0 komentar:
Posting Komentar